Silsilah Ki Ageng Abu Muqodim (Gempolsewu)

Berikut ini dihimpun dari berbagai sumber yang nantinya akan dikisahkan kisah dan sejarah serta SILSILAH KI AGENG ABU MUQODIM

yang makamnya terletak di HALAMAN MASJID JAMI' AT-TAQWA GEMPOLSEWU Kec. Rowosari Kab. Kendal


Catatan ini baru potongan-potongan yang belum dihimpun dengan sempurna. Mohon kepada para pembaca yang mempunyai sumber lain agar membantu catatan ini.


Umum[sunting | sunting sumber]

Nama Kendal diambil dari nama sebuah pohon yakni Pohon Kendal. Pohon itu pada mulanya tidak ada yang tahu namanya tapi ketika Pakuwojo bersembunyi di pohon itu di dalam pohon itu terang benderang akhirnya pohon itu dinamakan pohon Qondhali yang berarti penerang dan akhirnya daerah tempat pohon itu dinamakan Qondhali karena orang Jawa tidak fasih berbahasa Arab maka jadi Kendal. Pohon yang berdaun rimbun itu sudah dikenal sejak masa Kerajaan Demak pada tahun 1500 - 1546 M yaitu pada masa Pemerintahan Sultan Trenggono. Pada awal pemerintahannya tahun 1521 M, Sultan Trenggono pernah memerintah Sunan Katong untuk memesan Pusaka kepada Pakuwojo.
Peristiwa yang menimbulkan pertentangan dan mengakibatkan kematian itu tercatat dalam Prasasti. Bahkan hingga sekarang makam kedua tokoh dalam sejarah Kendal yang berada di Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu itu masih dikeramatkan masyarakat secara luas. Menurut kisah, Sunan Katong pernah terpana memandang keindahan dan kerindangan pohon Kendal yang tumbuh di lingkungan sekitar. Sambil menikmati pemandangan pohon Kendal yang nampak "sari" itu, Beliau menyebut bahwa di daerah tersebut kelak bakal disebut "Kendalsari". Pohon besar yang oleh warga masyarakat disebut-sebut berada di pinggir Jln Pemuda Kendal itu juga dikenal dengan nama Kendal Growong karena batangnya berlubang atau growong.
Dari kisah tersebut diketahui bahwa nama Kendal dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah atau daerah setelah Sunan Katong menyebutnya. Kisah penyebutan nama itu didukung oleh berita-berita perjalanan Orang-orang Portugis yang oleh Tom Peres dikatakan bahwa pada abad ke 15 di Pantai Utara Jawa terdapat Pelabuhan terkenal yaitu Semarang, Tegal dan Kendal. Bahkan oleh Dr. H.J. Graaf dikatakan bahwa pada abad 15 dan 16 sejarah Pesisir Tanah Jawa itu memiliki yang arti sangat penting.

Sejarah Berdirinya Kabupaten Kendal[sunting | sunting sumber]

Adalah seorang pemuda bernama Joko Bahu seorang abdi dalem kerajaan Mataram. Joko Bahu dikenal sebagai seorang yang mencintai sesama dan pekerja keras hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran tanggal 21 Oktober 1628 di Batavia Tumenggung Bahurekso beserta ke dua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
Perkembangan lebih lanjut dengan momentum gugurnya Tumenggung Bahurekso sebagi penentuan Hari jadi dinilai beberapa kalangan kurang tepat. Karena momentum tersebut merupakan sejarah kelam bagi seorang tokoh yang bernama Bahurekso. Sehingga bila tanggal tersebut diambil sebagai momentum hari jadi dikhawatirkan akan membawa efek psikologis. Munculnya istilah "gagal dan gugur" dalam mitologi Jawa dikawatirkan akan membentuk bias-bias kejiwaan yang berpengaruh pada perilaku pola rasa, cipta dan karsa warga Kabupaten Kendal, sehingga dirasa kurang tepat jika dijadikan sebagai pertanda awal mula munculnya Kabupaten Kendal.
Dari Hasil Seminar yang diadakan tanggal 15 Agustus 2006, dengan mengundang para pakar dan pelaku sejarah, seperti Prof. Dr. Djuliati Suroyo ( guru besar Fakultas sastra Undip Semarang ), Dr. Wasino, M.Hum ( dosen Pasca Sarjana Unnes ) H. Moenadi ( Tokoh Masyarakat Kendal dengan moderator Dr. Singgih Tri Sulistiyono. serta setelah diadakan penelitian dan pengkajian secara komprehensip menyepakati dan menyimpulkan bahwa momentum pengangkatan Bahurekso sebagai Bupati Kendal, dijadikan titik tolak diterapkannya hari jadi. Pengangkatan bertepatan pada 12 Rabiul Awal 1014 H atau 28 Juli 1605. Tangal tersebut persis hari Kamis Legi malam jumat pahing tahun 1527 Saka. Penentuan Hari Jadi ini selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah ( PERDA ) Kabupaten Kendal Nomor 20 Tahun 2006, tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kendal ( Lembaran Daerah no 20 Tahun 2006 Seri E nomor 15 ) Sejarah Kendal juga terdapat di perpustakaan Leiden University ,Leiden, Belanda

Pemerintahan Kabupaten Kendal sekarang dan zaman dulu[sunting | sunting sumber]

Kaliwungu pernah berjaya sebagai pusat pemerintahan sejak awal berdirinya Kabupaten Kendal. Namun karena kondisi perpolitikan di pusat Mataram pada waktu itu dan adanya pertimbangan untuk perkembangan pemerintahan, menyebabkan pusat pemerintahan tersebut pindah ke kota Kendal hingga sekarang. Sehingga akhirnya Kaliwungu hanya digunakan untuk tempat tinggal kerabat Ayah Bupati yang sering disebut sebagai Kasepuhan. Sedangkan pemerintahannya dijadikan sebagai daerah administrasi yaitu Distrik Kaliwungu.

Bupati Kendal[sunting | sunting sumber]

·         Tumenggung Bahurekso 1605 -1629
·         Raden Ngabehi Wiroseco 1629 -1641
·         Raden Ngabehi Mertoyudo 1641 -1649
·         Raden Ngabehi Wongsodiprojo 1649 -1650
·         Raden Ngabehi Wongsowiroprojo (putra dari Raden Ngabehi Wongsodiprojo) 1650 -1661
·         Raden Ngabehi Wongsowirosroyo (putra dari Raden Ngabehi Wongsowiroprojo) 1661 -1663
·         Tumenggung Singowijoyo I atau Singowonggo(putra dari Raden Ngabehi Wongsowirosroyo)1663 -1668
·         Tumenggung Mertowijoyo I (putra dari Tumenggung Singowijoyo I) 1668 -1700
·         Tumenggung Mertowijoyo II (adik dari Tumenggung Singowijoyo I) 1700 -1725
·         Tumenggung Mertowijoyo III (putra dari Tumenggung Mertowijoyo I) 1725 -1739
·         Tumenggung Singowijoyo II (Putra kedua Tuemnggung Singowijoyo I) 1739 -1754
·         Tumenggung Soemonegoro I (putra dari adipati Soerohadimenggolo ,adipati Semarang) 1755 -1780
·         Tumenggung Soemonegoro II (putra dari Tumenggung Soemonegoro I) 1780 -1785
·         Tumenggung Soerohadinegoro II (putra kedua dari Tumenggung Soemonegoro I) 1785 -1796
·         Pangeran Ario Prawirodiningrat I 1796 -1813
·         Pangeran Ario Prawirodiningrat II Putra Bupati Pangeran Ario Prawirodiningrat I (Bupati terakhir Kendal dengan Pusat Pemerintahan masih di Kaliwungu) 1813 -1830
·         Raden Tumenggung Purbodiningrat Menantu Bupati P. Ario Prawirodingrat II 1832 -1850.
·         Kyai Tumenggung Purbodiningrat Asal Gresik. 1832 -1850.
·         Pangeran Ario Notohamiprojo 1857 -1891.
·         Raden Mas kamal Notonegoro asal desa Cepiring 1891-1911
·         Patih Raden Cokro Hadisastro Menantu Bupati Jepara Sosrodiningrat / Ipar R.A. Kartini (menjalankan pemerintahan sementara karena Bupati meninggal dunia) 1911-1914.
·         Raden Mas Adipati Ario Notohamijoyo atau Raden Mohammad Putra RM. Ario Notonegoro 1914 -1938
·         Raden Patih Notomudigdo memegang jabatan sementara karena Bupati Raden Mas Adipati Ario Notohamijoyo memasuki masa pensiun. 1938.
·         Raden Mas saddin Purbonegoro asal desa Cepiring 1939 -1942
·         Patih Raden Mas Kusuma Hudoyo 1942 -1945
·         Sukarmo Putra Lurah Ketapang Kendal. (Anggota Sanggiin diangkat dalam masa Revolusi Rakyat Kendal. 1945 -1949
·         R. Ruslan Masa Agresi Belanda 1949
·         R. Prayitno Partodijoyo Patih dari Pekalongan 1950 -1956
·         R. Soedjono Bupati Blora 1957-1960
·         Staf Kantor Gubernur - R. Abdul Rahman - R. Gondo Pranoto
·         R. Salatun Wedono Weleri Kendal 1960 -1966
·         Mayor Sunardi 1966 -1967
·         Letkol RM. Suryo Suseno 1967 - 1972
·         Drs. Abdus Saleh Ronowidjoyo Asal Madura 1972 - 1979
·         Drs. Herman Sumarmo Sekwilda Ka. Tegal 1979 - 1984
·         Sudono Yusuf, BA 1984 -1989
·         Sumojo Hadiwinoto, SH 1989 - 1998
·         Drs. Djoemadi 1999
·         Hendy Boedoro , SH. M.Si 2000 - 2007
·         Dra. Hj. Siti Nurmarkesi ( Bupati ), Pelantikan 22 Juli 2009-2010
·         Dr. Hj. Widya Kandi Susanti 2010-2015




Sunan Ngudung

Sunan Ngudung atau Sunan Undung (lahir: ? - wafat: 1524) adalah seorang anggota Walisanga yang juga bertindak sebagai imam Masjid Demak pada pemerintahan Sultan Trenggana. Naskah-naskah babad mengisahkan ia gugur dalam perang melawan Kerajaan Majapahit
Nama asli Sunan Ngudung adalah Raden Usman Haji, putra Sunan Gresik kakak Sunan Ampel. Atau dengan kata lain, ia masih sepupu Sunan Bonang. Sunan Ngudung menikah dengan Nyi Ageng Maloka putri Sunan Ampel. Dari perkawinan tersebut lahir Raden Amir Haji, yang juga bernama Jakfar Shadiq alias Sunan Kudus.
Sunan Ngudung diangkat sebagai imam Masjid Demak menggantikan Sunan Bonang sekitar tahun 1520. Selain itu ia juga tergabung dalam anggota dewan Walisanga, yaitu suatu majelis dakwah agama Islam di Pulau Jawa
Naskah-naskah babad, misalnya Babad Demak atau Babad Majapahit lan Para Wali mengisahkan Sunan Ngudung tewas ketika memimpin pasukan Kesultanan Demak dalam perang melawan Kerajaan Majapahit. Menurut naskah-naskah legenda tersebut, perang antara dua kerajaan ini terjadi pada tahun 1478. Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah melawan Kerajaan Majapahit yang untuk menengakkan keadilan. karena pada tahun itu Brawijaya V atao Bhre Kertabhumi diserang oleh Girindra wardhana yang di tanai dengan condro sengkala Sirna Ilang Kertaning bumi atau 1440 Saka/ 1478 M. sedang pada saat diserang oleh Girindrawardhana Bhre Kertabhumi menyelamatkan diri ke Gunung Lawu. Sunan Ngudung diangkat sebagai panglima perang menghadapi musuh yang dipimpin oleh Raden Kusen, adik tiri Raden Patah sendiri yang menjabat sebagai adipati Terung (dekat Krian, Sidoarjo). Raden Kusen merupakan seorang muslim namun tetap setia terhadap Majapahit. Dalam perang tersebut Sunan Ngudung memakai baju perang bernama Kyai Antakusuma (sekarang disebut Kyai Gondil). Baju pusaka itu diperoleh Sunan Kalijaga dan konon merupakan baju perang milik Nabi Muhammad.
Sunan Ngudung dalam pertempuran itu gugur sebagai syahid.
Jabatan Sunan Ngudung sebagai panglima perang kemudian digantikan oleh Sunan Kudus. Di bawah kepemimpinannya pihak Demak berhasil mengalahkan Majapahit.
Menurut prasasti Trailokyapuri diketahui bahwa Majapahit runtuh bukan akibat serangan Demak melainkan karena perang saudara melawan keluarga Girindrawardhana. Namun siapa nama raja Majapahit saat itu tidak disebutkan dengan jelas.Pararaton menyebut nama Bhre Kertabhumi sebagai raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Girindrawardhana yang kemudian Bhre Kertabhumi menyelamatkan diri ke Gunung Lawu.
Setelah penyerangan inilah kemudian Raden Fatah (adipati demak yang kemudian menjadi sultan Demak)mengumpulkan bala tentara untuk membantu Bhre Kertabhumi. Ayahnya yang telah diserang Majapahit. Namun dalam penyerangan Raden Fatah mengalami kekalahan. Setelah kekalahan ini Para dewan wali menyarankan Raden Fatah untuk meneruskan pembangunan masjid Demak.
Pada tahun 1481 M Raden Fatah mengirimkan tentara lagi untuk menyerang Girindrawardahana di Majapahit. Pada serangan ini Raden Fatah memperoleh kemenangan sehingga Majapahit takluk dibawah Raden Fatah. Pada tahun 1982 Raden Fatah dilantik menjadi Sultan Demak.
Naskah Hikayat Hasanuddin menyebutkan pada tahun 1524 imam Masjid Demak yang bernama Pangeran Rahmatullah tewas ketika memimpin perang melawan Majapahit. Tokoh ini kemungkinan besar identik dengan Sunan Ngudung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kematian Sunan Ngudung terjadi pada tahun 1524, bukan 1478 sebagaimana yang tertulis dalam naskah babad.




Raden Santri (Sayid ALI Murtadho )

Raden Santri atau Sunan Gresik adalah salah satu penyebar agama Islam yang juga merupakan Kakak dari Raden rachmat atau Sunan Ampel dan sepupu dari Maulana Malik Ibrahim.
Raden Santri juga dikenal dengan Sayid Murtadho adalah anak dari Ibrahim Asmorogondy yang datang ke tanah jawa untuk menyebarkan Islam. Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya dan sebagai tokoh panutan, Beliau di beri gelar Rojo Pandito Wunut. Gelar ini merupakan anugrah rahasia yang diberikan oleh raja Majapahit untuk penguasa yang beragama Islam.
Raden Santri wafat pada tahun 1317 saka / 1449 M. Makam Raden Santri juga termasuk salah satu makam yang banyak dikunjungi sebagai wisata ziarah dan terletak di desa Bedilan, di jalan yang sama dengan namanya.
  

Sunan Maulana Ibrohim Asmoro qondi ayah Sunan Ampel


Adalah Makam Waliyullah yang merupakan ayahanda dari Sunan Ampel.
Nama asli beliau adalah Ibrahim Asyamar Khan.
Konon beliau dikenal sebagai seorang pejuang yang sangat kokoh dalam menyebarkan agama Islam dan memiliki keahlian sebagai pande besi yang handal dalam membuat persenjataan.

Lokasi makam Ibrahim Asmoro Qondi berada di Desa Gesikharjo, Tuban, sekitar 10 km arah timur dari Kota Tuban. Sekarang makam ini dilengkapi dengan areal parkir yang cukup luas, sekitar 250 m².

Nama lengkap Ibrahim Asmoro Qondi adalah Ibrahim bin Jamaludddin Akbar bin Ahmad Jamaludddin. Dia dikenal sebagai ayah Sunan Ampel. Jika Sunan Ampel datang dari Cempa, sementara di belakang nama ayahnya ada nisbat Asmoro Qondi, sebuah daerah di dekat Bukhara Rusia, berarti Ibrahim adalah pendatang dari Samarqand. Kapan ke Jawa dan mengapa makamnya ada di Gesikharjo Tuban, sampai saat ini masih belum terungkap. Dalam beberapa serat, nama Ibrahim sering disebut sebagai Syarif Auliya’ dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmoro. Masyarakat setempat menyebut dengan nama Ibrahim Asmoro Qondi.




Syeikh Jumadil Kubro 
Syeikh Jumadil Kubro merupakan tokoh kunci proses Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum walisongo.Seorang penyebar agama Islam pertama yang mampu menembus dinding kebesaran Kerajaan Majapahit.

Syeikh Jumadil Kubro bernama lengkap Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Beliau adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAW dari garis Syyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Campa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Campa.Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri.Setelah dewasa, Syekh Jumadil Qubro mengembara ke negeri neneknya di Hadramaut. Di sana beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ dan Tasawuf, di samping ilmu- ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau bergumul dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok dakwah:.

  • Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja yang hendak mendalami ilmu keislaman.
  • Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam farJa’ Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni MalikIbrahim menuju kota Gresik.
  • kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al- Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan Pandhitosebutan “ Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf(transparansi dan keserba jelasan ilmu/ ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Sejarah Perjalanan Syekh Jumadil Qubro

Sejarah dakwah Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim (Makdum Ibrahim/Haji Bong Tak Keng) dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya mengubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri raja Champa (adik Dwarawati), dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya. Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila , putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja . Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu:
  • 1. Putri Nyai Ageng Maloko.
  • 2. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).
  • 3. Syarifuddin (Sunan Drajat ) dan.
  • 4. Syarifah , yang merupakan istri dari Sunan Kudus..
Perjalanan dakwah Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di samping keyakinan masyarakat pada roh-roh leluhur dan benda-benda suci. Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit sangatlah besar. Karena pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak heran, bila pemakaman beliau berada di antara beberapa pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunana Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan beberapa patih dan senopati yang dimakamkan bersamanya..




Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq

MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.

Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.

Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.

Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.

Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.

Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung.

Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.

Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.

Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru.

Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.

Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.

Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.

Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.

Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.

Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut.

Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.

Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
• Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

SUNAN JUMINAH JEPARA
Masyarakat di wilayah Kabupaten Pati tentu saja mengenal dengan baik nama Ki Ageng Ngerang. Beliau merupakan salah satu tokoh pemuka agama / ulama yang disegani, dan dihormati, sehingga pada saat masa itu beliau menjadi guru dari berbagai kalangan masyarakat. 

Ki Ageng Ngerang merupakan salah satu anak dari Sunan Juminah Jepara Bin Raden Ja'far Shodiq (Sunan Kudus). Beliau menikah dengan Raden Ayu Roro Kasihan Putri dari Bondan Kejawen dengan Nawangsih (Putri tunggal Sayyid Kidang Telangkas dengan Dewi Nawangwulan).

Jika selama ini persepsi masyarakat Kabupaten Pati khususnya daerah Tambakromo tentang Nyi Ageng Ngerang merupakan istri dari Ki Ageng Ngerang, maka hal tersebut patut ditinjau ulang dan dicarikan dasar argumentasi maupun bukti otentik mengenai hal tersebut.

Pencarian bukti tersebut sangat penting, sehingga akan menjaga keotentikan dari segi silsilah. Patut dipertanyakan, apakah benar beliau (Nyi Ageng Ngerang yang dimakamkan di Tambakromo) merupakan istri dari Ki Ageng Ngerang. Jangan-jangan persepsi tersebut hanya di dasarkan pada kesamaan Ngerang (Ki Ageng Ngerang), maka nama istrinya tentu saja Nyi Ageng Ngerang. mari bersama-sama kita berpikir secara jernih dan ilmiah. Bukan maksud saya untuk mendiskreditkan maupun menyangsikan tentang ke walian Nyi Ageng Ngerang. Jangan-jangan Nyi Ageng Ngerang Tambakromo bukanlah istri Ki Ageng Ngerang Juwana, melainkan merupakan salah satu tokoh perempuan penyebar agama islam yang memiliki hubungan darah dengan salah satu wali di tanah Jawa.


Keturunan dari Ki Ageng Ngerang dan Raden Ayu Roro Kasihan juga belum diketahui secara mendetail, dalam cerita yang beredar di kalangan masyarakat salah satu putri Ki Ageng Ngerang yakni Dewi Roroyono yang dipersunting oleh Sunan Muria, Kemudian, yang patut menjadi pertanyaan adalah apakah Dewi Roroyono adalah putri tunggal atau bukan. Kalau beliau (Dewi Roroyono) bukan putri tunggal, terus siapa saja saudaranya. Saya pernah membaca salah satu silsilah yang menjelaskan bahwa beliau memiliki saudara, yang diberi gelar Ki Angerang I, Ki Ageng Ngerang II, Ki Ageng Ngerang III, dsb



KI AGENG JUWIRING
RIWAYAT SINGKAT KY.AGENG R. REMPET / KY. ROMLI FADHOLI KEMIRI – SUMBER AGUNG – WELERI – KENDAL
A. LATAR BELAKANG.
Sekitar abad 18 Ki Ageng Juwiring ( Tumenggung Puspo Negoro ) mempunyai dua putra kembar yaitu R. Rempet / kyai Ageng Romli Fadholi dan R. Kempet / kyai Ageng Abu Romli. Setelah remaja dua putra ini dipondokan di pesantren Kyai As’ari / Wali As’ari Gunung Pati – Semarang. Kyai Ageng Juwiring dan Kyai As’ari masih saudara sepupu dari kakeknya sunan Juminah – Mantingan – Jepara. Disamping itu juga mereka berguru kepada kyai Ngijo / wali Ngijo Gunung Pati, yang mana kyai Ngijo adalah murid kinasih dari wali As’ari. Kyai Ngijo dulunya adalah berandal besar diwilayah Demak-Semarang yang akhirnya bertaubat dan berguru kepada wali As’ari. Berbekal dari didikan orang tuanya, maka dalam mempelajari dan menyerap ilmu dari kedua gurunya cepat tanggap dan dengan mudah menerima semua pelajaran. Dari hasil bergurunya itulah R. Rempet dan R. Kempet mempunyai dan menguasai ilmu agama islam, ilmu kanuragan, ilmu tata negara,ilmu ekonomi dan ilmu pengobatan. Untuk meneruskan perjuangan orang tua dan gurunya itulah dua orang ini mendapat tugas da’wah keliling. Sebelum berangkat wali As’ari berpesan : Untuk R. Rempet kamu nanti bikin pesantren setelah menemukan pohon yang bersinar, dan R. Kempet kamu nanti bikin pesantren setelah menemukan tanah yang bersinar. Setelah mohon ijin kepada orang tuanya maka dua saudara kembaar ini berangkat da’wah keliling daerah yang berlainan.

B. MENDIRIKAN PESANTREN DI KEMIRI
Dalam perjalanan da’wah keliling, Kyai Romli Fadholi mengamalkan ilmu agama islam dan pengobatan ke setiap masyarakat yang disinggahi, juga memberikan semangat berjuang untuk membela negara guna mengusir penjajah kolonial belanda dari nusantara. Karena kelihaiannya dan kehalusannya maka masyarakat tergugah untuk berjuang namun penjajah tak mencurigainya. Tidak terasa sudah hampir 3 tahun da’wah dilakukan , tiba-tiba dari kejauhan ditengah hutan kelihatan pohon bersinar. Setelah dihampiri ternyata benar yaitu ada pohon kemiri besar yang bersinar. Pohon kemiri itu ternyata dijaga oleh harimau putih dan burung perkutut putih. Sesuai petunjuk gurunya maka dibabatlah hutan sekitar pohon itu dengan bantuan orang-orang yang pernah ditolong. Di dekat pohon kemiri itu didirikanlah pesantren serta dibikin lahan pertanian. Karena ingin dekat dengan pesantren kyai Romli maka banyak penduduk yang pindah di sekitar pesantren. Tidak berapa lama daerah itu sudah ramai penduduknya, maka pedukuhan itu diberi nama pedukuhan Kemiri yang diambil dari pohon kemiri yang bersinar. Penduduk pedukuhan kemiri lebih mengenal kyai Romli Fadholi dengan nama kecilnya yaitu R. Rempet, maka kyai Romli lebih dikenal dengan nama Kyai Ageng Rempet.

C. PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAH
Disamping memberi pelajaran agama Islam dan pertanian, kyai Ageng Rempet juga memberi ilmu kanuragan dan ilmu tata perang untuk melawan penjajah. Ilmu peperangan itu didapat dari orang tuanya yang seorang tumenggung, maka tak heran bila santri-santrinya juga mahir dalam ilmu peperangan. Secara diam-diam kyai Ageng Rempet dipanggil Sultan Mataram dan juga dikukuhkan jadi salah satu “Senopati luar” dari kesultanan mataram.

D. WAFAT DI KEMIRI
Kyai Ageng Rempet berjuang untuk agama islam dan negara dilaksanakan dengan penuh keikhlasan dengan semata-mata mengharap ridla Allah saja. Pesannya yang sering disampaikan kepada santrinya “Aja Pada Kemiren”, maksudnya supaya kita jangan iri kepada siapapun, sebab Allah SWT mengqodratkan pada setiap makhluknya itu tak sama, serta tiap-tiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan. Intinya supaya kita jalin kerukunan antar umat dengan penuh kasih sayang dan merasa sama-sama makhluk Allah SWT. Dari rasa iri itulah timbul dengki, jahil, sombong dll. Kyai Ageng Rempet meninggal di usia sekitar 90 tahun. Dan dimakamkan dibawah pohon kemiri sekitar pesantren.

Semoga berkah ,rahmat, taufiq Allah SWT dilimpahkan selalu kepada Kyai Ageng Rempet / kyai Romli Fadholi, hingga kita semua menerima luberan berkahnya untuk keselamatan lahir batin kita semuanya. Amin.



Diriwayatkan oleh :
KH. Abi Mansyur / Ki Bodo / R. Ng. Seco Atmodjo
Gelangan – Purwosari – Wonoboyo – Temanggung.
Ditulis oleh :
K. Drs. Gigik Kusiaji / Ki Santri / R. Santri Dzikrillah.
PP. Ki Bodo – Sukorejo –Kendal


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama